Kapasitas Diri
Semakin banyak yang ingin di dapat, energi yang dikeluarkan harus semakin besar, dan waktu yang dibutuhkan tentu makin panjang. Padahal, kita adalah mahluk yang hidupnya serba terbatas. Mampukah kita menggenggam segala yang kita idamkan?
Seiring bertambahnya usia, Fulan merasa bahwa waktu selama 24 jam dalam sehari ini kurang. Jika Fulan menggunakannya untuk mengerjakan aktivitas domestik, mengumpulkan pundi-pundi rupiah, dan mengupgrade diri dengan belajar, maka Fulan akan kehilangan waktu untuk bermain dan istirahat. Begitu pun sebaliknya. Sedangkan, Fulan merasa harus melakukan semuanya.
Suatu ketika, terjadilah sebuah ledakan dalam hidup Fulan. Saat itu, Fulan baru beberapa bulan menjadi ibu. Dalam sebuah rumah, Fulan tinggal bersama seorang bayi dan seorang laki-laki dewasa dengan status suami.
Kewajiban menafkahi keluarga dalam bentuk materi, menjadi sebab suami Fulan menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah. Maka, tinggallah Fulan bersama seorang bayi dengan berderet-deret keinginan yang harus diselesaikan. Ingin memasak, ingin mencuci, ingin rumah selalu bersih dan rapi, ingin membaca buku, ingin menulis, ingin bersantai sambil menonton, ingin menyusui bayi, ingin melakukan perawatan terhadap bayi dan dirinya sendiri, ingin bermain bersama bayi, ingin tidur, dan ingin-ingin yang lain.
Keinginan itu bertambah, tatkala suami Fulan pulang ke rumah. Tentu Fulan ingin menyiapkan makan dan minum suaminya, ingin memijit badan suaminya yang pegal, ingin mendengarkan suaminya, dan ingin memberikan pelayanan yang lain.
Lambat laun, keinginan-keinginan itu seperti sebuah beban bagi Fulan. Perlahan-lahan, kesehatan jasmani dan rohani Fulan terkikis. Fulan jadi mudah marah, mudah menangis, sampai akhirnya ia jatuh sakit. Hal itu membuat Fulan mengalami banyak kehilangan.
Dari Fulan kita bisa ambil pelajaran, bahwa semakin menggebu ambisi kita untuk melakukan banyak hal, maka semakin banyak pula yang harus kita korbankan. Kita memang dituntut untuk bisa memanfaatkan usia dengan baik, mengisi kehidupan dengan ragam aktivitas yang menguntungkan, dan mengambil kesempatan sebelum ia hilang.
Namun, jika semua itu ujung-ujungnya membuat diri sendiri kesakitan, di mana letak kebaikannya? Seperti apa bagian yang disebut menguntungkan? Bukankah ketika diri sendiri tergeletak tidak berdaya, kesempatan justru banyak yang terlewat begitu saja? Lagi pula Allah tidak suka dengan segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan.
Maka, penting bagi manusia memahami kapasitas dirinya, dan menyadari posisinya. Jadi, sebenarnya kita tidak harus melakukan banyak hal dalam 24 jam. Kita tidak harus menggenggam semua yang kita inginkan. Untuk menjadi baik dan mendapatkan keuntungan, kita pun tidak harus selalu terlihat sempurna.
Mulai sekarang, mari mengakui adanya keterbatasan. Dari sejumlah atribut kehidupan yang ada, mari kita teliti, mana amanah yang perlu diprioritaskan. Antara kebutuhan dan keinginan, mari kita pisahkan.
Tangan kita cuma dua. Kita tak bisa mengangkut seluruh kayu di hutan untuk membangun rumah dalam sekali bawa. Maka, ambil sesuai kemampuan tangan kita, lalu ulangi lagi hingga yang dibutuhkan terpenuhi.
Tubuh kita pun telah didesain Allah dengan teramat istimewa. Di sana ada alarm yang telah automatis terpasang. Maka, mari makan saat lapar, mari minum ketika haus, dan mari tidur saat mengantuk. Mari berhenti beraktivitas tatkala alarm dari sinyal-sinyal tersebut berbunyi.
Membiasakan perilaku yang secukupnya ini memang tidak mudah. Godaan pasti datang saat melihat mereka yang piawai dengan kemampuan multitaskinnya. Rasa iri akan muncul ketika nampak di depan mata, orang lain yang dikelilingi oleh pernak-pernik yang kita impikan, tetapi belum bisa kita dapatkan.
"Mengapa aku tidak bisa seperti mereka?"
Kembali lagi pada pemahaman bahwa kapasitas setiap manusia berbeda. Kapasitas dalam menahan sakit, bertahan pada sebuah ujian hidup, dan kemampuan mengelola titipan, kadar yang diberikan Allah pada setiap hamba yang diciptakan tidak sama.
Adu aduuuu akulah si fulan itu. Udahlah sibuk urus anak sama suami, masih gatel juga ikut ikut kelas yang membutuhkan fokus dan waktu yang banyak. Namun kembali, mengingat kapasitas diri dan mimpi yang masih bisa diusahakan, jadi gas terus aja deh. Nanti rehat sejenak
BalasHapusSaya terjun ke dunia literasi setelah menjadi ibu dua orang anak. Oleh karena itu, saya mengambil kelas secukupnya, tidak kemaruk. Namun, tidak sampai tidak ikut kelas juga karena bagi saya itu merupakan suatu penghiburan di tengah rutinitas.
BalasHapus