Aku Menulis dan Aku Bahagia
Saat pemikiranmu tidak sejalan dengan pemikiran orang-orang di sekitarmu, menulislah.
Ketika pandangan hidupmu ditentang, menulislah.
Walau isi kepalamu tidak terdengar, setidaknya ia menari riang sebagai tulisan.
Menulis Sebagai Terapi Jiwa
Pada usia 20 tahun, aku adalah seorang wanita penderita krisis mental. Beragam trauma mulai dari masa kecil hingga remaja secara tidak sadar membentuk bom waktu yang siap meledak kapan saja. Kumpulan trauma dari hubungan pertemanan, hubungan percintaan, didikan keluarga dan trauma lainnya berubah menjadi monster yang dengan tiba-tiba bisa membuat mental jatuh. Akibatnya aku mengalami stress, depresi hingga penurunan kesehatan fisik. Hidup terasa hopeless dan useless. Berbincang dengan orang lain yang tidak memahami kondisiku saat itu, hanya akan membuat mental semakin terpuruk.
Maha baik Allah, suatu ketika Ia mempertemukan aku dengan seorang teman yang tengah menekuni bidang ilmu kesehatan mental. Teman tersebut menyarankan agar aku mulai menjadikan kegiatan menulis sebagai rutinitas. "Menulislah setiap malam sebelum tidur atau kapan saja ketika kamu ingin. Tuliskan apa saja yang ingin ditulis, khususnya hal-hal yang tidak mudah dibagi dengan orang lain", katanya waktu itu.
Biidznillah, saran dari teman itu bekerja dengan baik. Selama tahun 2016, aku mendapat banyak keajaiban dari rutinitas menulis. Dengan menuliskan pengalaman hidup, aku berkenalan dengan ikhlas. Begitu banyak hikmah tersembunyi dan hal tidak terduga yang aku temukan di sana, seperti dogma-dogma dan false belief yang sudah tertanam mulai kecil dan perlu dicek kebenaran dan kenyataannya. Sebab bisa jadi mereka sudah tidak relevan dan hanya akan jadi penghambat diri dikemudian hari jika tidak diluruskan.
Dengan menuliskan kesedihan, kemarahan, ketakutan dan perasaan tidak menyenangkan lainnya, kesempatan untuk melampiaskan luapan emosi pada hal-hal tidak berguna bisa dikurangi. Respon negatif terhadap peristiwa traumatis juga bisa dicegah. Efek sampingnya, meningkatkan self confidence dan self esteem serta menurunkan risiko menjadi people pleasure. Sehingga aku tidak lagi terlalu menggantungkan diri terhadap penerimaan orang lain.
Menemukan Dunia Baru
Pada tahun 2017 aku memberanikan diri mencoba mengunggah tulisanku ke media sosial dalam event '30 Hari Bercerita' (event menulis di instagram selama 30 hari di bulan Januari). Tulisan yang kuunggah berisi motivasi serta nasehat yang tujuan utamanya untuk diriku sendiri dan beberapa pengalaman pribadi yang bisa dipetik hikmahnya. Respon-respon baik dari pembaca yang bermunculan di kolom komentar, menjadi bahan bakar yang membuat semangatku menyala makin terang.
Sejak turut serta dalam event tersebut, aku bertemu dengan tantangan-tantangan menulis yang lebih banyak lagi, aku mengikuti sejumlah kelas menulis, tergabung dengan beberapa komunitas menulis daring, dan berkontribusi dalam proyek buku antologi. Perjumpaan dan perkenalanku dengan individu-individu lain yang senang bergelut dengan dunia literasi, menciptakan alasan-alasan lain bagiku untuk senantiasa belajar menekuni bidang ini juga menumbuhkan benih-benih cinta pada sesosok manusia yang kini menjadi partner dalam rumah tangga.
Menulis Sebagai Ladang Amal
Salah seorang mentor pernah menyampaikan bahwa kegiatan menulis tidak hanya bisa dijadikan sebagai hobi, dia juga bisa menjelma sebagai ladang mencari nafkah dan bahkan ladang mengumpulkan pahala. Bayangkan jika tulisan kita yang mengudara dapat memotivasi pembaca yang sedang hilang arah, jadi sumber inspirasi bagi mereka yang tengah gamang, atau mengarahkan pembaca untuk memulai gaya hidup yang lebih baik, maka kita sebagai penulis insyaallah akan memanen amal jariyah.
Apa yang disampaikan mentorku kala itu, kujadikan pegangan untuk terus menumbuhkembangkan kemampuan di jagat literasi. Meskipun perjalanannya cukup sulit, sebab aku dibenturkan oleh peristiwa-peristiwa yang membuat langkah sering terhenti seperti merawat ayah yang sedang sakit, berduka ketika ayah tiada, beradaptasi dengan peran baru sebagai ibu, dan mengurus bayi seorang diri karena sedang Long Distance Mariage dengan suami.
Aku bercita-cita menerbitkan setidaknya tiga buku solo yang masing-masing berisi kumpulan narasi/memoar/senandika yang terispirasi dari pengalaman pribadi, perjalanan sebagai seorang ibu, dan cerita untuk anak-anak. Salah satu bukunya aku targetkan bisa mulai diproduksi pada tahun 2025. Sambil berproses dalam pembuatan buku solo, aku sedang menajamkan kemampuan menulisku agar bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah melalui kompetisk, profesi sebagai content writer atau ghost writer.
Semoga niat baik ini selalu dalam penjagaan Allah dan diri ini senantiasa dikuatkan agar mampu menjalankan segala bentuk ikhtiar.
Aamiin ya robbal 'alamiin. Semoga cita2 dan tujuannya tercapai ya mbak. Semangat terus ngeblognya ☺
BalasHapusSetuju sekali kak. Menulis bisa banget untuk terapi dan membantu menguraikan isi kepala kita. Bahkan, emosi bisa keluar dengan tuntas dengan menulis.
BalasHapus