Sisa Rasa
Perjalanan lima tahun dari ujung barat ke ujung timur Indonesia, kupikir sudah cukup jauh dan lama. Sepanjang itu, seseorang yang pernah sakit harusnya telah sembuh, mereka yang sempat gagal mestinya telah berhasil, dan yang dulunya berusaha move on tentunya telah lupa.
Nyatanya, jarak dan waktu bukanlah parameter yang tepat untuk mengukur perubahan beberapa aspek kehidupanku. Kisah cintaku misalnya. Berakhir di tahun 2018, tetapi membekas hingga lima tahun setelahnya. Berpisah di Sabang, tetapi emosinya masih terasa sampai aku tiba di Merauke.
Aku sudah berusaha keras membangun cerita yang sama sekali berbeda. Namun, entah mengapa yang lama selalu terlihat lebih indah, dan yang pergi seolah tak kan pernah terganti.
Sampai pada suatu ketika, semesta menyibak tabir rahasianya. Episode tak terduga datang mengejutkan.
Bel sekolah tanda jadwal istirahat telah berbunyi. Usai pelajaran Bahasa Indonesia di kelas XI IPA, biasanya aku akan menghampiri bekal yang tergeletak di meja ruang guru. Namun, tidak dengan hari itu.
Disminore membuatku malas memasak dan mengandalkan menu ala kadarnya di kantin sekolah. Berjalanlah aku ke sana tanpa ada rencana hendak membeli apa.
Setibanya di tujuan, aku berdiri cukup lama di depan meja penjual. Deretan menu yang nampak baik yang berupa tulisan di kertas maupun masakan di etalase, membuat mata, mulut, perut, serta otakku berunding sengit.
"Sa pesan Indomie Rendang, Bu."
"Seperti biasa, Bu Guru?"
"Ya."
Makanan apa lagi sih yang paling bisa menggugah selera perantau, selain makanan khas dari kampung halamannya. Untungnya Indomie hadir dengan beragam varian rasa nusantara. Jadi, walau tak bisa kutemui nasi padang, aku masih bisa menikmati lezatnya rendang dalam wujud mie instan.
"Rima?"
Aku belum menoleh sebagai respon dari panggilan itu, tapi tubuhku sudah seperti dikejutkan oleh sengatan listrik. Gelombang suara itu tidak asing, walau lima tahun tidak terdengar. Lagi pula, bagaimana bisa ia menjadi asing, sedangkan durasi yang kuhabiskan untuk mendengarnya jauh lebih panjang ; tujuh tahun lamanya.
"Hai! Ya Allah, Fajar! Apa kabar?" ucapku dengan nada yang sedikit bergetar.
Sudah sekian tahun cerita kami kandas, sudah ribuan hari pula aku tak lagi melihat sosoknya. Namun, debar jantungku masih sama cepatnya seperti saat kami pacaran dulu.
"Baik. Eh, tunggu bentar, ya. Aku mau pesan dulu."
Gestur tubuhnya menunjukkan bahwa kami akan berada pada perbincangan yang cukup panjang.
"Udah lama banget loh, Rim." Ia mulai membuka obrolan setelah kami duduk di kursi yang berhadapan.
"Nggak nyangka, ya, bakal ketemu lagi."
"Dan habis ini, kita bakal saling sapa tiap hari." Lagi-lagi ia membubuhkan senyum lebar di akhir kalimat.
"Ini kamu kerja nih, di sini?"
"Enggak lah, Rim."
"Ha?"
"Kan di sini aku lagi nunggu makan sama kamu. Gimana sih?"
"Fajar ..."
"Iya, Rima ..."
Ah. Jokes-nya masih sama. Bukan lagi senyum lebar. Kali ini dia tertawa. Renyah sekali.
Gawat! Beberapa detik aku merasa kalau kita sedang berada di kantin SMA di Padang dulu. Ya, mau bagaimana? Candaan yang dia lempar tidak berubah. Ditambah lagi siswa-siswi berseragam putih abu-abu berkeliaran di sekeliling kami.
"Aku serius."
"Iya deh, iya. Aku tuh kerjanya di ruang guru sama di depan anak-anak SMA sini."
"Em, ngajar apa?"
"As you know. Apa lagi?"
"Pendidikan Jasmani?"
Dia mengangguk.
"Kalau kamu? Pasti ngajar Bahasa Indonesia," tanyanya kemudian.
"Ya begitulah."
Sebenarnya kami sudah saling tahu bidang apa yang ditekuni. Hanya saja, seprtinya kami terlalu bingung memilih topik untuk basa-basi.
Lalu, pesanan kami berdua pun datang
"Wih. Indomie rendang emang pemenangnya, ya." Dia berseru setelah melihat menu milikku
Sepiring Indomie rendang dengn topping cabai rawit potong dan telur mata sapi. Sebungkus kerupuk rindu tak lupa mendampingi. Menu kantin sekolah favoritku yang tidak berubah.
Berbeda dengan miliknya. Dari aromanya sih masih sama. Indomie ayam bawang dengan cabai potong dan taburan tauge. Tetapi ....
"Kamu juga. Indomie ayam bawang kayaknya nggak tergantikan. Tapi kok ...."
"Apa?"
"Sejak kapan kamu suka makan mie kuah pakai telur dadar? Biasanya kan, telur setengah matang."
"Sejak istriku yang bikinin."
Aku pun terdiam. Tenggorokanku rasanya tercekat, saking tak menyangka bahwa aku akan mendengar jawaban seperti barusan. Inilah yang aku takutkan saat mulai terbawa suasana. Aku bisa lupa segalanya, bahkan pada kemungkinan sesederhana itu.
Jujur saja, rasanya campur aduk saat bertemu dia lagi. Menyenangkan, menegangkan, sekaligus menjengkelkan. Perasaan-perasaan ini ada karena saat terakhir kali bertemu, kami sedang berada pada momen yang tidak baik.
"Rim, sebenarnya aku punya lumayan banyak pertanyaan," ucapnya.
"Apa?"
"Setelah kita pisah dulu, aku tuh nyariin kamu. Tapi kamunya kayak udah ilang ditelan alam. Emang menghindar dariku harus sebegitunya, ya?"
Aku tersenyum. "Terus, apa lagi?"
"Ya, aku berharap banget, masih dikasih kesempatan buat ketemu kamu lagi. Buat minta maaf dan ngejelasin apa yang dulu nggak mau kamu dengerin."
"Memangnya, kenapa?"
"Karena kamu penting buatku."
"Iya, saking pentingnya, sampai aku nggak bisa nemuin kamu waktu aku lagi berjuang buat sembuh dari patah tulang. Saking pentinya juga, tahu-tahu aja kamu jalan sama perempuan lain, ketawa-ketawa seolah nggak ada yang salah. Padahal, waktu itu kamu nggak lupa 'kan kalau hubungan kita masih berjalan?"
Aku mencoba mengendalikan gejolak emosiku, agar aku bisa mengutarakan yang terpendam dengan tenang.
"Itulah yang mau aku mintain maaf sama kamu. Aku emang ambisius banget sama karir-karir aku di kampus, sampai sering memgabaikan kamu. Dan tentang perempuan yang dulu jalan sama aku itu ...."
"Udah, Jar, stop! Nggak apa-apa kok.
Dulu, emang aku keganggu banget sama pertanyaan-pertanyaan tentang kamu juga akhir cerita kita. Tapi, setelah hari ini udah enggak lagi."
"Enggak. Kamu harus dengerin penjelasanku dulu biar nggak salah paham."
"Enggak usah. Beneran deh. Aku sadar, akunya aja yang kurang ngertiin kamu. Aku yang nggak bisa menerima kalau kamu orang yang ambisius sama karir di kampus. Aku juga yang waktu itu nggak siap kalau salah satu konsekuensi punya pacar bintang kayak kamu, adalah banyak saingannya."
"Rima ...."
"Fajar ....
Aku nggak nyesel atas hubungan yang pernah kita bangun. Nggak sedikit hal yang bisa kupelajarai untuk hubunganku selanjutnya.
Aku juga bersyukur banget bisa ketemu kamu lagi hari ini. Kerena kalau enggak, mungkin aku masih aja nggak bisa nentuin tindakan yang tepat buat hidupku."
Kami pun sama-sama diam dan saling berpandangan. Apapun tujuannya untuk memberikan penjelasan padaku, buatku semua itu tidak penting lagi. Tidak akan mengubah yang sudah terjadi dan tidak akan berpengaruh pada apa yang akan datang nanti.
Ia menghela napas. Beberapa detik kemudian, tampaknya ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi batal karena didahului oleh bunyi panggilan yang masuk ke ponselku.
"Eh, sorry. Aku angkat telepon dulu, ya."
Aku menjauh darinya agar bisa leluasa berbincang dangan si penelepon.
"Rim, mungkin kamu bosan dengar ini, tapi aku masih belum mau menyerah.
Mama papa aku sedang dalam penerbangan ke sini. Nanti kamu mau nggak, makan malam bareng kami?"
"Em, oke deh."
"Serius? Kamu langsung bilang oke bukan karena mau nge-prank aku 'kan?"
"Enggak Ardi, aku serius."
Selama ini, ternyata aku cuma melarikan diri dari bangunan yang aku dirikan bersama Fajar. Itu salah. Karena sekeras apapun aku berusaha membangun cerita baru, akan berakhir percuma. Bangunannya masih terlihat sebagai penyesalan dan kekecewaan. Kadang juga nampak seperti harapan semu, seolah pembangunannya masih bisa dilanjutkan.
Kini aku tahu bahwa aku pantas menghancurkannya. Satu-satunya bentuk yang tepat untuk menyelamatkan hati adalah dengan tidak melihat bangunan itu sama sekali.
Nyesek, Kak... Hiks
BalasHapus