Berdamai dengan Inner Journey

Belakangan, aku sedang mengikuti kelas "Self Healing With Writing". Materi di kelas tersebut diawali dengan bahasan tentang "inner journey". Tugasnya, menulis apa yang sudah kita lalui semasa anak-anak, remaja, hingga dewasa.

Kuambil sebuah buku tulis kosong yang kusiapkan khusus untuk kelas ini. Kutulis semua yang bisa kuingat. Bagaimana kehidupanku sebagai anak, pengalamanku di sekolah, dan pergaulanku dengan teman-teman. Banyak yang membahagiakan, akan tetapi tidak sedikit pula yang menyedihkan.

Aku sangat setuju, bahwa pendidik pertama dan yang paling utama adalah orang tua. Apa yang ditanamkan oleh orang tua sejak kita dilahirkan hingga siap dilepas untuk berinteraksi di masyarakat sangat berpengaruh.

Didikan yang keras, tidak selalu membuat anak patuh pada hal-hal baik. Didikan yang lemah lembut pun tidak selamanya membuat anak berperilaku seenaknya sendiri. Adanya tuntutan tidak melulu membuat anak paham tentang apa yang seharusnya ia jadikan tujuan. Memberikan kebebasan pun bukan berarti membuat anak tak memiliki rute perjalanan.

Pemilihan pola asuh kebanyakan disesuaikan dengan keegoisan dan hawa nafsu orang tua. Padahal pemilihan pola asuh sebaiknya disesuaikan dengan karakter anak yang jadi amanah. Harapan setiap orang tua boleh sama, yakni ingin anaknya menjadi saleh dan salehah. Akan tetapi caranya belum tentu bisa dipukul rata.

Ah, aku jadi ingat sisi keras orang tuaku dalam mendidikku. Perkataan mereka yang membangun, hingga ungkapan perbandingan yang justru membuat rasa percaya diriku turun. Pernyataan yang membuatku jumawa, hingga ucapan yang menjadikanku merasa tidak berguna.

Satu yang begitu amat kusayangkan. Tuntutan dan cita-cita yang ditimpakan ke pundakku ternyata amat berat. Saat masih anak-anak hingga remaja, aku melakukan berbagai cara untuk mewujudkannya. Sampai-sampai, berbuat curang pun menurutku tak masalah, asal orang tuaku puas dengan hasil akhirnya.

Namun, semakin dewasa, makin kuwalahan aku menghadapinya. Kupikir, ketika aku menyerah dengan satu jalan dan memilih berjuang di jalan lain, aku akan tetap diberi semangat dan dukungan. Nyatanya, aku justru dihujani ungkapan kekecewaan. Padahal, aku tida melakukan seauatu yang melanggar norma, hanya karena yang kupilih tak sejalan dengan ekapektasi mereka.

Kata demi kata yang tertangkap oleh telinga, membuatku yang tadinya sudah jatuh, malah tertimpa tangga. Seolah selama ini aku hanyalah beban. Seakan tidak pernah ada kebahagiaan yang pernah kuberikan pada keduanya. Akan tetapi, aku harus tetap melanjutkan perjalanan di jalur yang kupilih, meski diterpa cibiran keluarga sendiri. Aku hanya ingin membuktikan satu hal, selagi aku berada pada jalan Tuhan yang benar, aku tetap akan baik-baik saja, meski itu tidak sesuai standar yang mereka idamkan.

Kini, semua itu telah berlalu. Mereka sudah belajar menerima apa adanya aku. Seperti aku yang juga belajar memaafkan setiap perilaku mereka yang pernah menyakitiku. Sebab, aku sadar bahwa apa yang mereka lakukan ataa dasar cinta kasih. Sayangnya, tidak tersampaikan dengan tepat, karena didominasi dengan ambisi.

Aku telah menyandang status sebagai orang tua. Apa yang pernah kualami sebagai anak, baiknya kujadikan pelajaran agar aku tidak menurunkan luka lama pada generasi selanjutnya. Aku perlu menanamkan pemahaman pada diriku sendiri bahwa anak yang saat ini kusuapi ketika lapar, kugendong ketika manja, kumandikan, dan kutemani tidurnya, bukanlah sepenuhnya milikku. Aku tidak hanya punya hak untuk dipatuhi olehnya, aku juga punya kewajiban untuk mendidiknya. Dia bukan cuma wajib untuk patuh padaku, dia pun berhak untuk menagih cinta, kasih sayang, serta kelemahlembutan perilaku serta ucapku.

Yang harus selalu kuingat adalah segala yang kulakukan dan kuberikan padanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh yang maha kuasa. Kelak, buah hatiku ini akan kulepas. Saat masa itu tiba, harus kupastikan ia punya bekal yang cukup. Ia akan meninggalkanki, berjalan memenuhi peran Allah yang sudah digariskan untuknya.

Komentar

  1. Tulisan-tulisan Kak Uswa selalu memiliki kedalaman atas sesuatu. Yang tadinya tidak terpikir, jadi bisa menjadi bahan renungan. By the way, apakah sengaja tulisan-tulisannya tidak dikasih gambar? :')

    BalasHapus
  2. setuju kak, jangan sampai luka akibat didikan orang tua juga kita wariskan pada anak-anak. Semangat menjadi seorang ibu ya, kak!

    BalasHapus
  3. Setuju kak. Mendidik anak dengan lembut tidak melulu membuat anak jadi lembek atau membangkan. Yang penting orang tuanya tegas.

    BalasHapus
  4. Masyaallah reminder sekali Kak. Terkadang dalam diri masih membekas luka akibat pengasuhan di masa lalu, tapi semoga kita selalu diberi kesadaran untuk tidak mengulanginya oada anak-anak.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer