Kembang Api


Pada suatu malam, Rio dan ayahnya sedang duduk di teras rumah. Mereka tengah berbincang tentang hari-hari dalam satu minggu pertama yang telah dilalui Rio di sekolahnya. Rio begitu bersemangat saat menceritakan teman-teman barunya serta apa saja yang diajarkan oleh sang guru kepadanya. Ayahnya pun menyambut cerita Rio dengan antusias penuh.

Meskipun langit begitu gelap, sebab mendung yang menutupi kawanan bintang dan sinar rembulan, tetapi perbincangan tersebut tetap terasa semarak. Apalagi kalau bukan karena wijen panggang buatan ibu yang menemani keduanya.

Namun, keseruan mereka tiba-tiba buyar tatkala keduanya dikejutkan oleh bunyi ledakan bertubi-tubi yang diikuti munculnya pijar-pijar di langit. Saking kagetnya, Rio seketika melompat dari tempat duduknya dan berpindah ke pangkuang sang ayah. Ia nampak ketakutan terhadap sesuatu yang baru pertama kali ia lihat itu.

"Ayah, itu apa?" tanya Rio dengan nada gemetar.

"Manusia menyebutnya kembang api, Nak."

"Kembang api? Apa itu?"

"Semacam mainan, tapi berbahaya."

"Berbahaya? Tapi terlihat indah, Ayah."

"Keindahannya hanya sebatas di mata saja, Nak. Itu pun hanya sementara."

"Kalau begitu, mengapa manusia memainkannya?"

"Ya, karena memang sudah tabiatnya manusia menyukai ingar bingar yang fana. Hingga mereka tak menghiraukan ancaman apa yang mengintai di baliknya," sang ayah menjawab pertanyaan Rio sambil menatap tajam ke arah langit.

Rio hanya melongo sembari melihat wajah sang ayah. Di usianya yang baru menginjak satu tahun, ia masih sering kesulitan memcerna maksud perkataan orang dewasa. Rio kemudian kembali memandangi langit dengan mata berbinar, sesungging senyum membuat wajahnya semringah.

"Nak, kau duduk di sini dulu. Ibu memanggil ayah. Nampaknya jus wortel untuk kita sudah siap. Ayah akan segera kembali."

Rio pun dilepas dari pangkuan sang ayah dan duduk sendirian di teras.

"Wah, indah sekali warna-warninya. Apakah aku juga bisa memainkannya seperti mereka?" gumam Rio dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Rio mengepakkan sayapnya melintasi langit malam. Ia terbang semakin tinghi mendekati gemerlap cahaya kembang api yang memenuhi langit.

Ayah dan ibu Rio yang tidak mendapati keberadaan anaknya di sekitar rumah, terduduk lemas. Mereka sangat yakin bahwa Rio terbang menghampiri kembang api itu. Hati dan pikiran orang tua Rio dipenuhi dengan kecemasan atas dugaan yang tidak-tidak. Akan tetapi, mereka tidak dapat menyusul Rio ke atas sana, sebab hal itu akan percuma. Mereka paham betul bahwa situasi akan jadi jauh lebih buruk. Jadi, mereka hanya bisa menunggu sambil berdoa.

***

Keesokan harinya, Waidya memarahi berpasang-pasang orang tua yang berkumpul di halaman rumahnya. Mendung menyelimuti wajah mereka, bahkan ada juga yang sudah meneteskan hujam ke pipinya.

"Mengapa kalian tidak mengurung anak-anak?" tanya Waidya dengan nada tinggi. Selutuh otot muka dan lehernya menegang. Tangannya pun mengepal seolah sedang menahan sesuatu.

"Semua ini terjadi di luar kendali kami, Waidya. Biasanya kami merngurung mereka ketika peringatan hari besar keagamaan, perayaan kemerdekaan, dan malam tahun baru. Tapi, siapa sangka jika pelepasan tim sepak bola negara ini menuju piala dunia pun diiringi pesta kembang api?" jawab salah satu ayah.

"Apa kalian tidak menjelaskan bahwa benda itu berbahaya?"

"Sudah, Waidya. Sayangnya, tipuan cahaya kembang api selalu berhasil mengalahkan kata bahaya," ucap salah sati ibu sambil menangis tersedu.

Waidya kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia mengambil ancang-ancang untuk menjelaskan sesuatu yang lebih serius.

"Anak-anak kalian aku temukan terkapar di tepi danau tadi pagi. Setelah kuperiksa, ternyata mereka telah menghirup areseni, partikulate matters, dan aneka logam berat yang dihasilkan oleh ledakan kembang api. Beberapa ada yang selamat dan bisa kalian rawat di rumah. Akan tetapi, ada juga yang sudah tidak bernyawa dan bisa kalian kuburkan segera."

Kabar duka dari Waidya menutup perjumpaan dadakan di halaman rumahnya hari itu.

***

"Ayah, katanya manusia makhluk paling berakal, tapi mengapa mereka mau dibodohi oleh kembang api?" tanya seekor burung kakaktua muda pada suatu pagi.

"Maksud Rio?"

"Kembang api itu hal yang sia-sia 'kan? Sama halnya mereka membakar uang yang bisa dipakai untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Apa mereka tidak sadar kalau perbuatannya termasuk zalim terhadal diri sendiri, satwa, dan lingkungan?"

Sang ayang tersenyum lebar. Tak disangaka, memasuki usia 5 tahun, daya pikir putranya sudah cukup kritis.

"Ya, begitulah manusia. Seringkali akal mereka dikuasai hawa nafsu yang terbuai oleh ingar bingar dunia."

Komentar

  1. Alhamdulillah Rio selamat, ya, Kak. Tadi sempat khawatir. Kisah burung bernama Rio ini mengingatkan saya pada Rio yang juga seekor burung. Rasanya saya pernah melihat film kartun burung biru itu di televisi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe. Iya, Kak. Nama Rio si burung biru memang terinspirasi dari film animasi berjudul "Rio" 🤭

      Hapus
  2. burung? rio? jangan-jangan film angry bird rio terinspirasi dari kisah yang kakak tulis hahaha

    BalasHapus
  3. Lebih tepatnya saya Kak yang terinspirasi dari tokoh burung biru dalam film animasi berjudul "Rio" 😁

    BalasHapus
  4. Sosok anak putra yg berumur 5 tahun tp cukup kritis daya pikirnya...yg mana umumny senang lihat kembang tnpa memikirkan uang...tpi ini tdk...good job

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena, menurut penelitian, 5 tahun usia burung sama dengan 18 tahun usia manusia, Kak 😁

      Hapus
  5. Alhamdulillah selamat. Deg degan aku lohhh. Yah, tapi begitulah manusia. Jika sudah urusan hura hura dan kesenangan, terkadan akal jadi nomor dua.

    BalasHapus
  6. Ceritanya menarik sekali.. Terhanyut aku, Kak..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer