Kepingan Hati yang Pergi

Bukan satu atau dua kali. Kehilangan sesuatu dalam hidup berulang kali kualami. Alat tulis yang berkurang saat pulang sekolah, buku bacaan yang tidak dikembalikan oleh teman yang meminjam, uang yang jatuh di jalan, perhiasan yang dicuri orang, kesempatan yang terlewatkan, hingga orang tercinta yang berpulang. Dua hal yang paling menyakitkan di antara semuanya ialah melewatkan kesempatan untuk mengukir kenangan bahagia dengan seseorang yang kini telah tiada.

Masih membekas di ingatan, saat belahan bumi tempatku tinggal dilanda musim hujan pada Januari 3 tahun silam. Kutemani sosok yang tubuhnya sudah ringkih itu menjalani pengobatan yang semakin membuatnya kesakitan. Beberapa kali ia menolak, tapi kami sebagai orang terdekat selalu membujuknya. Ia telah pasrah, tapi kami tak ingin menghentikan ikhtiar agar ia bisa bersama dengan kami lebih lama.

Di luar, rintik air langit membasahi tanah kering dan dedaunan layu. Di dalam sebuah klinik, rintik air mata membasahi pipi, bibir, dagu, hingga kerudungku. Desis dan erangan yang keluar dari bibirnya membuat hatiku nyeri. Akan tetapi, tak ada yang bisa kulakukan selain tetap berada di sebelahnya hingga proses itu berhenti.

Tiga hari telah berlalu. Pengobatan belum usai, tapi ia meminta dipulangkan ke rumah, sebab merasa tubuhnya sudah tak mampu. Hari-hari di rumah pun berjalan dengan debar yang tak karuan.

Sebagai seorang putri bungsu, aku diminta untuk sering-sering menunggui ayah di kamar sambil melantunkan ayat-ayat al quran. Aku sangat ingin, tapi kehamilanku yang baru memasuki trimester pertama, membuatku ingin muntah tiap kali mencium bau-bau tertentu. Termasuk minyak gosok dan obat-obatan yang menguar di kamarnya.

Pada malam keempat belas di rumah satelah ia pulang dari klinik, aku memilih mengaji dan berdoa di kamar pribadi seperti sebelumnya. Aku ingin melakukannya hingga tengah malam. Sayangnya kantuk tak bisa kutahan dan aku pun terlelap.

Beberapa saat kemudian, aku terjaga sebab suara tangis dari samping kamar. Aku pun bergegas bangun menuju sumber suara itu. Di ambang pintu, kulihat kakak dan ibuku memeluk tubuh yang sudah tidak bergerak di pangkuan keduanya. "Jemputlah bidan ke rumah, ayah tak sadarkan diri," pinta ibu di tengah isaknya.

Aku mengendarai motor di tengah rintik hujan pukul 12.00 malam menuju rumah bidan desa. Dingin yang terasa kala itu bukan hanya dari cuaca yang menyelimuti bumi, tapi juga keringat dingin yang membasahi telapak tangan dan kaki. Ritme detak jantung dan desir darahku tak beraturan, tapi aku harus berusaha tetap tenang.

Setibanya di rumah, bidan memeriksa beberapa bagian tubuh ayah, hingga terucaplah sebuah kalimat yang mencipta lara. "Innalillahi wainnailaihi raaji'un." Air yang sedari tadi menggenang di tepian netra, seketika lolos dari pertahanannya.

Namun, aku tak bisa membiarkan air mata itu mengalir lebih banyak. Sanak saudara harus segera dikabari dan pemakaman secepatnya perlu disiapkan. Di sela-sela sibuknya sejumlah manusia yang berlalu lalang di rumah, aku menyempatkan duduk di dekat jenazah ayah. Sebab, aku percaya bahwa ruhnya masih berada di sekitar sana, kubisikkan ucapan maaf dan untaian terima kasih yang jarang terucap dari lisanku selama kami bersama.

Usai dimandikan, dikafani, dan disalatkan, aku turut serta mengantar jenazah ayah ke pemakanan. Kepergiannya hari itu membawa sebagian dari kepingan hati, menyisakan ruang kosong yang dari waktu ke waktu terisi oleh pertanyaan dan penyesalan diri sendiri.

Apakah kehadiranku sudah membuatnya bahagia? Sementara semasa hidupnya aku belum berhasil menggapai segala cita sehingga ia menjadi bangga. Andai kutahu, bahwa kami tidak bisa lebih lama lagi bersama, tak akan kusiakan sedetikpun kesempatan untuk mengukir senyum di wajahnya, aku akan lebih berhati-hati agar tak menciptakan kecewa.

Komentar

  1. Ya Allah, Kak. Innalillahi wainna ilaihi rajiuun. Insyaallah Ayah ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah, ya. Sudah tiga tahun berlalu, tetapi saya yakin lukanya tidak akan pernah sembuh. Turut berduka.

    BalasHapus
  2. Ya Allah nyesek bacanya. Jujur beberapa bulan ini aku selalu overthinking dan anxiety tiap ingat ada saudara/keluarga yang meninggal. Salah satu trigger anxiety ku ya ini, setelah dirunut dan diurai satu per satu. Memang kehilangan orang terkasih itu sakitnya tidak bisa diungkapkan dg kata2.

    BalasHapus
  3. Hiks, teringat Ibu yang berpulang November tahun lalu. Rasanya ingin mengulang waktu, membenahi hal-hal yang dulu pernah menggurat kecewa di hatinya. Hanya bisa melangitkan doa untuk memangkas rindu yang selalu menyapa :'(

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer