Parenting Tanpa Gadget

Anak-anak usia di bawah tujuh tahun identik dengan perilaku yang sulit diajak tenang. Mereka cenderung banyak berceloteh, mengikuti kemanapun orang tuanya pergi, meniru segala hal yang orang tuanya lakukan, berlarian, berlompatan, memainkan benda-benda yang menarik perhatian, dan berbagai aksi lainnya.

Ketika orang tua atau pengasuh anak-anak itu sedang kelelahan atau tidak mau diganggu, tak jarang, gadget menjadi pilihan yang diandalkan. Ya, mereka akan memberikan gadget pada anak-anak dengan berbagai pilihan tayangan di layarnya. Animasi dengan ragam warna cerah, disertai musik yang ceria sanggup mengambil alih atensi anak-anak, hingga mereka melupakan hal lain di sekitarnya.

Gadget adalah jenis alat elektronik yang didalamnya terdapat beragam aplikasi yang berfungsi untuk mempermudah aktivitas komunikasi. Adanya koneksi internet, memungkinkan aplikasi dalam gadget tersebut digunakan oleh manusia untuk mencari dan membagikan informasi, menemukan hiburan, melakukan proses jual beli, menyalurkan hobi dan kreativitas, bekerja, dan belajar.

Di zaman perkembangaan teknologi yang makin canggih ini, bisa dikatakan bahwa gadget sudah berubah bentuk menjadi kebutuhan primer manusia. Akan tetapi, idealnya, sejak usia berapakah manusia perlu menggunakannya?

World Health Organization (WHO) dan American Academy of Pediatrics (AAP) menyarankan untuk tidak mengenalkan gadget pada anak, saat usian mereka masih di bawah dua tahun. Para ahli sepakat bahwa sebaiknya menunggu sampai anak berusia di atas tiga tahun atau usia pra sekolah untuk mengenalkannya dengan media elektronik. Bahkan para ahli berpendapat bahwa semakin lama menunda pemberiannya akan semakin baik agar anak sudah semakin memahami penggunaannya.

Pada usia ini, anak dapat diperkenalkan pada tujuan penggunaan teknologi sebagai sarana untuk membantunya belajar. Meskipun sudah dibolehkan, tetap ada aturan yang perlu orang tua patuhi saat memberikan gadget untuk anak.

Sayangnya, karena kelalaianku dalam mengasuh anak, sebelum usianya 3 tahun, ia pernah terpapar gadget. Pada sebagian anak, aktivitas menonton gadget tidak membawa dampak buruk yang terlalu banyak. Ada yang menurut saja saat orang tua mengakhiri sesi menontonnya, ada pula yang justru semakin lahap makannya.

Namun, tidak dengan anakku. Selama tiga bulan terpapar gadget, perilakunya jadi sangat aneh. Sering tantrum ketika durasi menonton disudahi, konsentrasi menurun, dan makan lebih lama karena makanannya selalu diemut. Tidak hanya itu, setiap bangun tidur yang ditanyakan selalu tentang menonton, kemudian dia akan tantrum ketika tidak diberikan akses untuk itu.

Merasa bahwa aku kewalahan dalam mengatasi perilaku anak, aku mulai membaca berbagai literatur yang membahas tentang screen time. Cici Desri, seorang Early Childhood Educator Montessory, dalam unggahan instagramnya memaparkan bahwa saat mengakses gadget, anak cukup tap icon yang dia mau dan sepersekian detik muncul pilihan tayangan favoritnya. Dia tidak membutuhkan usaha lebih (effortless) untuk mendapatkan apa yang dia mau.

 Effortless, ketika sudah menjadi pola dalam diri anak, akan memengaruhi kinerja otaknya. Maunya yang serba cepat, serba mudah, sehingga menimbulkan reaksi tidak sabaran dan enggan berproses. Maka, wajar kalau anak candu gadget jadi impulsif.

Setelah diteliti, seperti ini pola anak tantrum dan level tantrumnya karena gadget.




Kejadiannya sama persis dengan yang dialami anakku. Wah, tidak bisa dibiarkan, dong. Tentunya, aku harus segera bertindak untuk berhenti memberinya akses pada gadget. Tapi, bagaimana caranya, ya?

1. Memberi contoh

Di tempat tinggal kami, gadget yang diberikan pada anak berupa smartphone. Jika kami sebagai orangtua melarang anak menggunakan smartphone, maka kami pun harus menahan diri agar tidak sering-sering menggunakan smartphone di depan anak.

Saat itu, aku yang sedang berhadapan dengan pekerjaan berbasis work from home, harus rela mengakhiri pekerjaan tersebut. Aku melakukannya agar bisa memberi contoh pada anak dengam mengurangi penggunaan smartphone.

2. Meluangkan waktu lebih banyak bersama anak

Alasanku memberi akses gadget pada anak, agar aku bisa leluasa bekerja dan tidak mendapat terlalu banyak gangguan darinya. Setelah aku menyudahi akses gadget tersebut, berarti aku harus hadir untuk anak menggantikan gadget yang sebelumnya sering menemaninya. Aku jadi rajin membuat mainan berbasis montessori, bercerita, menggambar bersama, dan melakukan kegiatan yang bisa menjadi media untuk menyalurkan tingkahnya yang aktif seperti bermain sepak bola dan nature walk.

3. Melibatkannya dalam pekerjaan rumah tangga

Saat akses gadget untuk anak aku hentikan, automatis dia akan mengikuti kemanapun aku pergi dan berusaha menirukan setiap pergerakan yang aku lakukan. Aku pun tidak mungkin hanya menemaninya bermain dan menyelesaikan pekerjaan domestik saat ia tidur. Cara tersebut tentu akan sangat menyita waktu istirahatku dan membuatku kelelahan.

Maka, aku libatkan saja si kecil untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga. Aku selalu mengajaknya berbelanja, memasak, mencuci baju, mencuci perabotan dapur, berkebun, menyapu, mengepel, dan melipat baju. Di usianya yang belum genap 3 tahun, tentu banyak kesalahan yang terjadi, pekerjaan akan jauh lebih lambat, dan rumah pun menjadi sangat berantakan. Akan tetapi, bukankah hal tersebut wajar dalam proses belajar?

Poin ketiga ini pun kuyakini sebagai salah satu cara memutus paham patriarki. Meski anakku laki-laki, ia tak boleh kalah piawai dengan perempuan untuk urusan menghandle pekerjaan domestik. Lagi pula, menyediakan makanan dan menjaga kebersihan tempat tinggal merupakan keterampilan dasar yang harus dikuasai manusia, baik laki-laki dan perempuan.

4. Memberi pemahaman kepada anak secara kontinu

Ada saatnya sebagai orang dewasa merasa butuh untuk mengakses gadget di depan anak seperti : ketika harus berkomunikasi dengan seseorang, mencari informasi, atau  harus menangani suatu pekerjaan. Maka, kami beritahu si kecil bahwa kami menggunakannya untuk sebuah alasan. Anak-anak seusianya masih belum boleh menggunakan gadget, karena masih lebih membutuhkan waktu untuk bermain bersama orang terdekat. Mereka boleh mengkases gadget saat usianya sudah lebih besar.

Sudah pasti fisik terasa lebih lelah dari sebelumnya. Akan tetapi, batin jauh lebih lega, karena setelah aku memilih untuk menyudahi akses gadget, si kecil jadi jarang sekali tantrum. Aku tidak lagi sering mendengar tangisannya sambil berteriak, juga tidak lagi sering melihatnya berontak sambil melempar barang atau berguling di lantai. Si kecil jadi lebih mudah konsentrasi saat mendengar intruksi, makan lebih lahap, lebih ceria, dan perkembangan linguistiknya meningkat.

Kadang, ada saja bisikan yang menggodaku untuk memberikan si kecil akses gadget agar aku bisa lebih santai. Ketika berada dalam kondisi yang demikian, aku berkata pada diri sendiri bahwa aku punya banyak dunia untuk menyibukkan diri. Sementara si kecil hanya mengandalkan kehadiran diriku sebagai satu-satunya dunia yang dia miliki.

Lagi pula, masa-masa seperti ini tidak selamanya dan tidak akan lama. Beberapa tahun lagi, si kecil akan tumbuh semakin besar, lalu hidup mandiri dengan dunianya sendiri di luar sana. Maka, selagi masih sama-sama sehat, mari dinikmati dan dimanfaatkan kesempatan ini dengan sebaiknya.

Komentar

  1. Jujur banget tanpa gadget itu super menantang. Dengan gadget pun menantang juga wkwkw. Pengen cepat cepat masukin anak ke tk jadinya wkwkwk

    BalasHapus
  2. Salah satu upaya saya dalam menjauhkan anak dari gadget adalah dengan memberikan banyak buku. Hal ini cukup efektif. Namun, bukan berarti tidak ada tantangan. Tantangan itu muncul kalau sedang berkumpul dengan anak-anak lain dan mereka main gadget.

    BalasHapus
  3. Ini pembicaraan kita di grup ya, Kak. Masyaallah jadi tulisan. Aku juga sudah keidean untuk menuliskan no gadget versi anakku, Kak. Semoga Allah selalu mampukan dan kuatkan kita ya..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer