Representasi Rindu
Seorang laki-laki terlihat turun dari sebuah rangka besi raksasa. Kutaksir usianya 50-an. Nampak dari rambut yang sudah dihiasi uban serta kulit yang tak lagi kencang.
Langkah kakinya mengarah pada tempat ibadah berukuran kecil di salah satu sisi SPBU ini. Aku yang tengah mengantre bahan bakar, tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Setelah bensinku terisi, aku memutuskan untuk tinggal di sini sedikit lebih lama, agat jangan sampai kesempatan langka ini terlewat begitu saja.
Beberapa waktu berlalu. Ketika langkah pria yang kuamati tadi menjauh dari tempat ibadah, aku bergegas mendekat. Sesampainya aku di hadapan sosok itu, sebuah salam terlontar.
"Assalamu'alaikum, Bapak."
"Wa'alaikumsalam," jawabnya dengan ramah dan sedikit canggung.
Tanganku lalu terulur. Ia pun langsung tahu maksudku dan seketika menyambut tanganku tanpa ragu. Aku mencium tangan keriput yang gelap dan mengkilap itu.
"Bapak sudah makan?" tanyaku tanpa basa basi.
"Ini mau cari makan. Ada apa ya?" tanyanya
"Pak, hari ini saya baru diterima bekerja. Izinkan saya mentraktir Bapak sebagai bentuk dari ungkapan rasa syukur saya," ucapku dengan sedikit bumbu kebohongan.
Aku memang sangat ingin makan bersama dengannya tapi, takut ditolak jika mengatakan alasan yang sesungguhnya.
"Oh. Hahaha. Selamat, ya. Beneran mau ditraktir nih? Saya harus kasih imbalan gak?"
"Eh. Tidak, Pak. Bapak sudah mau terima tawaran ini saja, saya sangat bersyukur."
"Alhamdulillah," jawab laki-laki itu lega. Rasa canggung, nampaknya telah memudar dari raut wajahnya.
"Pak, di sebelah SPBU ini ada yang jual lontong kikil. Makan itu aja mau gak, Pak?"
"Wah, makanan favorit saya itu," jawabnya sambil terkekeh yang membuat hatiku makin hangat.
Kami berdua berjalan beriringan ke tempat yang kumaksud. Sungguh, laki-laki yang baru kutemui ini mengingatkanku pada seseorang. Pekerjaannya, postur tubuhnya, caranya berbicara, bahkan makanan favoritnya benar-benar mirip.
Apa jangan-jangan, orang ini adalah jelmaan dari seseorang yang ada dalam ingatanku? Ah, tapi, mana ada yang seperti itu. Aku hanya sedang merindu. Maka, mungkin saja segala yang kulihat saat ini adalah representasi dari apa yang ada dalam bayanganku.
"Sampai lupa. Perkenalkan, nama saya Sinta, Pak," kataku ketika kami sedang menunggu makanan yang dipesan datang.
"Nama saya Setiawan. Biasanya dipanggil Pak Wawan."
Deg. Bahkan nama panggilan mereka pun sama. Bedanya, meski dipanggil Wawan juga, nama lengkap sosok yang kurindukan itu Gunawan. Tapi, tetap saja semua ini terlalu aneh bagiku. Mengapa segalanya bisa begitu pas? Hm, aku jadi sangat bersyukur telah berani untuk tidak melewatkan kesempatan ini.
Dua porsi lontong kikil dan es jeruk telah datang. Kami menikmatinya dengan membicarakan banyak hal. Keramahan laki-laki yang tengah makan bersamaku, mampu menyemarakkan hati yang pilu oleh rindu.
"Pak, mau saya kasih tahu sebuah rahasia tidak?"
"Tidak mau saya," jawabnya sambil geleng kepala.
"Kenapa, Pak?"
"Nak Sinta, setelah ini saya harus menjaga berkarton-karton produk susu selama perjalanan yang masih sangat panjang. Kalau harus diminta untuk menjaga rahasia kamu juga, duh, saya gak sanggup."
"Hah, saya kan gak minta bapak buat jagain rahasia saya?" ucapku heran.
"Tapi, biasanya, kalau ada orang yang kasih tahu rahasinya, dia akan bilang, "tolong jaga rahasia ini baik-baik, ya. Jangan kasih tahu siapa-siapa," gitu. Kan jadinya saya harus jagain itu rahasia."
"Oh, hahaha. Bisa aja bercandanya, Pak. Ya udah, gak jadi rahasia deh. Bapak mau saya kasih tahu sesuatu yang menarik tidak?"
"Nah, kalau ini saya mau-mau aja. Apa itu?"
"Bapak mirip banget loh sama ayah saya. Beliau dulu juga sopir truk, suka sekali dengan lontong kikil, dan panggilannya pun Wawan," ungkapku tepat ketika hidangan kami telah tandas.
"Oh ya? Sekarang masih nyopir juga? Boleh dong saya dikenalin sama ayahnya. Barangkali bisa kolaborasi, jadi Duo Wawan."
"Hahaha.... Sayangnya, saya cuma bisa ngenalin ayah saya lewat cerita aja, Pak. Beliau udah meninggal 3 tahun yang lalu."
Laki-laki yang aku ajak bicara menghela napas berat nan panjang. Ia diam sejenak lalu menyeruput es jeruk. Agakny cukup terkejut dengan fakta yang baru saja kuungkap.
"Pasti kangen ya, sama ayahnya?" tanya Pak Setiawan.
"Hehehe. Kangen banget, Pak. Makanya tadi waktu antre bensin dan lihat Pak Wawan turun dari truk, saya langsung punya ide buat ngajak makan bareng. Saya juga sebenarnya gak baru diterima kerja. Itu cuma alasan aja biar Bapak mau terima ajakan saya. Maaf ya, Pak."
"Hehehe. Gak apa-apa, Nak Sinta. Bukan sesuatu yang buruk."
"Terima kasih, sudah bersedia menemani saya makan, Pak. Rindu kali ini, terobati."
"Saya juga terima kasih sudah ditraktir. Nak Sinta, teruskan hal-hal baik seperti ini. Dari pada menangis sesenggukan saat kamu merindukan seseorang yang sudah meninggal, mending kamu melampiaskannya dengan berdoa, membaca al quran, atau melakukan kebaikan seperti yang dilakukan almarhum semasa hidupnya. Insyaallah, almarhum akan ikut merasakan aliran pahalanya."
masya Allah, kisah nyata kak? jika iya saya turut bahagia dengan kisahnya. pun bila kisah ini hanya fiksi saya rasa ini karya masterpiece yang sangat inspiratif
BalasHapusMasya Allah, jadi reminder untuk yang orang tuanya masih lengkap agar selalu berbuat baik ke ortu. makasih ceritanya kak
BalasHapusSedihnya sampe sini kak. Berasa berkah dan anugerah sekaligus keajaiban ya kalau bertemu dengan seseorang yang mirip dengan orang yang kita rindukan.
BalasHapusMasyaallah mengingatkan aku pada momen bertahun lalu, Kak. Tidak lama ayah berpulang, bertemu sosok yang mirip beliau. Cara makan, cara bicara. Namun, hanya bisa melihatnya dari kejauhan karena sepertinya beliau sosok yang punya jabatan. Nggak pede untuk menemuinya :'(
BalasHapusSosok Ayah bagi anak perempuan sangatlah penting...anak perempuan merasa nyamann dan tentram dengan adnya seorang Ayah...ketika ditinggal Ayah sungguh patah hati luar biasa...hmmmmm...terkadang rindu itu terobati dgn hadirnya lewat mimpi atau sprti kisah yg kakak tulis...terobati dgn hadir ny seseorang yg baik dn tulus...masyaAllah tabarakallah...
BalasHapus