Rutinitas Pagi
"Nda, bangun. Maem."
"Nda, bangun. Ayuk."
Kelopak mataku yang masih tertutup rapat, kupaksa untuk segera terbuka tatkala mendengar celoteh bocah berusia 2 tahun. Di tengah buramnya pandangan dalam cahaya kamar yang masih remang-remang, kucoba menemukan keberadaan ponselku. Kudapati ia di meja. Kulihat waktu menunjukkan pukul 03.30 pagi saat layarnya menyala. Adzan subuh belum berkumandang, dering alarm pun masih 30 menit mendatang
Kudekati anak laki-lakiku, kupangku ia, dan menuntunnya berdoa. Kuangkat kedua tangannya dengan kedua tanganku. Kubisikkan sebait kalimat di dekat telinganya.
"Setelah bangun tidur, kita berdoa ya, Nak."
Aku merasa lega. Pagi ini Allah telah ingatkan satu kebiasaan baik yang seringkali terabaikan. Mengucap syukur sebab Ia telah membangunkan kami dalam keadaan sehat. Bersyukur sebab masih diberi kesempatan untuk mengais sebanyak-banyaknya bekal untuk pulang. Sebab, tidak jarang setelah bangun tidur aku malah terburu-buru mengejar kesibukan ini itu. Atau yang lebih parahnya lagi menggerutu, sebab terlewat bunyi alarm dan adzan subuh.
"Fatih, nasi dan lauknya belum matang. Bunda mau masak dulu. Fatih mau ikut?" ucapku pada anakku yang sejak bangun tidur sudah minta makan.
"Masak. Yuk, gendong." Kedua tangan mungil Fatih terulur ke arahku.
Kami pun menuruni tangga menuju area dapur. Sebelum memasak, terlebih dahulu kuajak ia untuk buang air kecil dan mencuci muka. Setelah setengah rasa kantuk hilang, kami menghilangkan setengahnya lagi dengan meminum air putih.
"Nda, tumpah," pekik seorang bocah saat hari masih dini.
Telunjuknya mengarah ke genangan air di dekat dispenser. Aku menghampirinya, lalu memegang pundaknya.
"Nggak apa-apa, nanti bisa dibereskan. Sekarang, Fatih duduk dan minum airnya."
Anak laki-laki berusia 2 tahun itu memilih pangkuanku sebagai tempat duduknya yang nyaman. Saat ia hendak mengarahkan gelas ke bibirnya, aku mengingatkannya sebuah kalimat.
"Sebelum minum, baca doa dulu ya, Nak."
Bismillahirrahmaanirrahim
Artinya : Dengan menyebut nama Allah
Beberapa saat yang lalu, Fatih meminta gelasnya agar ia bisa mengisi air minumnya sendiri. Aku lupa tepatnya di usia berapa ia sudah pandai mengambil sendiri air dari dispenser. Yang pasti, di awal masa belajrnya benar-benar memeras kesabaran. Apa lagi kalau bukan air minum yang cepat habis karena dipakai untuk menciptakan genangan.
Sebenarnya, aku dan suami belum ada niatan mengajarinya. Namun, rasa penasaran si kecil yang mendorongnya bereksplorasi dan belajar lebih dini. Kami hanya mengawasi selagi itu tidak terlalu membahayakan keselamatannya. Ya, walaupun sambil gigit jari dan sering ambil napas dalam-dalam.
Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dari inisiatif Fatih belajar memgambil air minumnya sendiri, aku dan suami punya kesempatan lain untuk mengajarinya mengelap dan mengepel jika ada sesuatu yang tumpah, sekaligus melatih rasa tanggung jawabnya.
"Alhamdulillah," ucapnya dengan lafal versi balita yang masih terdengar menggemaskan.
Usai menelan beberapa teguk air, Fatih berlari ke arah kamar mandi. Ia lalu kembali dengan membawa alat pel. Diarahkannya gagang pel itu maju mundur, sehingga kain pelnya mengusap bagian lantai yang basah. Sesekali kuarahkan di mana saja sisi yang perlu dikeringkan.
"Sudah, Nak. Lantainya sudah kering," ucapku setelah memastikan tak ada lagi air yang menggenang.
Sontak ia pun bersorak sambil bertepuk tangan."Yeay! Kering."
"Iya, sudah kering. Terima kasih, ya."
Kaki mungilnya segera berlari ke arah kamar mandi. Alat pel ia kembalikan ke tempat semula.
"Nda, maem." Fatih mengingatkan tujuan utama kami turun ke dapur 20 menit yang lalu.
Ya, bocah itu membangunkanku untuk minta makan. Sementara, aku belum memiliki sedikitpun makanan yanh siap dikonsumsi. Jadilah aku mengajaknya ke dapur untuk memasak. Akan tetapi, ritual bangun tidur yang kulakukan dengannya sunggu menyita waktu.
Buang air, cuci muka, dan minum air putih saja harus melewati 20 menit lamanya. Mau bagaimana lagi, hal seperti ini pun sering berulang setiap pagi.
Aku jadi kasihan padanya. Haruskah aku selalu menyiapkan camilan untuk mengganjal perutnya selagi ia menunggu sarapan matang? Ah, rasanya tidak perlu. Jika seperti itu bukankah aku akan membentuk kebiasaan yang kurang baik untuknya? Sepertinya, begini adanya lebih baik. Biar saja, agar ia lambat laun paham bahwa tidak ada sesuatu yang instan. Biar saja, agar ia terbiasa dengan proses sebelum mendapatkan sesuatu yang ia inginkan.
Kepersilakan ia naik ke atas kursi yang sengaja kuletakkan di dekat wastafel dapur. Mata bulatnya memperhatikanku mencuci beras dan memasukkannya ke mesin penanak nasi. Tentu saja tangannya sesekali ingin berkontribusi.Tak lupa bibir mengucap dzikir senantiasa. Walau segalanya melambat, sabar tetap tertambat.
"Fatih, sudah adzan subuh. Kita salat dulu, yuk. Nanti masaknya lanjut lagi setelah shalat."
Adzan sudah berkumandang. Ajakanku padanya untuk turut serta menunaikan salat subuh, tidak serta merta disambut dengan tangan terbuka. Kadang, ia menurut. Tak jarang ia menangis dan terus meminta makanan.
Sejauh yang bisa kulakukan ialah membuka tutup mesin penanak nasi, pintu kulkas, dan lemari penyimpanan. Kutunjukkan padanya bahwa belum ada sesuatu yang bisa ia makan. Jika masih tidak mempan, aku akan tetap membawa paksa ia yang menangis untuk ikut salat. Biasanya, ia akan tenang dengan sendirinya.
Masyaallah. Ibu memang madrasah utama dan pertama. Insyaallah kebiasaan kecil yang menjadi rutinitas sehari-hari seperti ini akan membentuk ananda menjadi pribadi yang berakhlak mulia.
BalasHapusMasyaallah. Segala yang baik memang harus dibiasakan dari kecil ya Kak. Karena menulis di atas batu lebih mudah ketimbang menulis di atas air.
BalasHapusLingkungan di Rumah menjadi pendidikan dasar sejak dini yang bergantung pada Ibu dan Bapakny juga dalam mmbuat suasana rumh mnjadi pembelajaran yg baik dn santun
BalasHapus