Terima Kasih


Ba'da maghrib itu, aku tidak bisa duduk santai sambil menikmati serial TV favoritku. Ada pekerjaan di dapur yang sedang menunggu. Ya, apalagi kalau bukan menyiapkan hidangan untuk menyambut kepulangan bapak dari anak-anakku.


Selama lebih kurang 20 tahun, ia jarang sekali berada di rumah. Kadang dua kali seminggu, kadang sekali seminggu, kadang dia baru pulang setelah dua minggu pergi. Keberadaannya di rumah paling lama, hanya bisa dijumpai saat hari raya tiba. Profesi sebagai sopir ekspedisi lintas kota yang harus menuntutnya seperti itu.


Baginya, kewajiban menafkahi keluarga menjadi tanggung jawab seorang suami sepenuhnya. Sedangkan kewajiban merawat dan menjaga rumah, serta mendidik dan membesarkan buah hati sepenuhnya dilimpahkan padaku.


Sehingga bila ditemui kesalahan dan ketidaksempurnaan sesuatu di rumah ini, tidak ada pihak lain yang disalahkan selain aku. Pada saat itu, tidak ada yang bisa kulakukan selain menjelaskan secukupnya, lalu diam dan mendengarkan, salah atau pun benar. Sebab, percuma saja bila didebat, ia tidak menyukainya, pembicaraan hanya akan berakhir dengan pertengkaran.


Bapak, begitu kusapa ia sejak memiliki anak pertama, sudah menghabiskan hampir seluruh energinya di perjalanan. Menahan kantuk dan lelah demi mencukupi segala kebutuhan keluarga. Jadi, apa susahnya menyiapkan sepasang telinga untuk mendengarkan segala keluhannya, kekesalannya, atau kadang marahnya?


"Ibu, bapak pulang!" Terdengar suara nyaring si bungsu sambil berlarian dari ruang depan menuju dapur.


"Iya, Nak, iya." Aku pun segera meninggalkan pekerjaanku di dapur, lekas menyusulnya menuju teras rumah. Penting bagiku untuk menyambut kedatangan pemimpin rumah ini dengan sukacita, usai perjalanan berat yang telah dia lalui sekian hari.


Setelah memasuki rumah, dia akan langsung menuju ruang belakang untuk mengganti pakaian kerjanya dengan sarung. Terlebih dahulu, ia akan menikmati kudapan dan segelas air putih sambil mengeringkan keringat di tubuhnya, baru dia mandi dengan air hangat. Usai sholat dan menyantap makan malam, lelaki ini akan berbincang denganku dan anak-anak di ruang tamu.


"Gimana Sofi, kabar tesnya?" Bapak mulai membuka percakapan malam itu.


"Alhamdulillah, Pak, Sofi lolos. Kemarin pengumumannya."


"Alhamdulillah, jadi di universitas yang mana?"


"Di Malang, Pak."


"Oh, Alhamdulillah masih deket."


"Malang itu jauh, Pak, 4 jam perjalanan." Aku menyahuti percakapan mereka dengan perkataan yang coba kuhilangkan nada cemasnya. Namun, terdengar atau tidak nada cemas itu, Sofi akan tetap merantau dan bapak akan selalu mendukungnya.


"Ya masih jauh kalau aku berangkat kerja, toh, Bu. Ke Semarang, Jakarta, Bandung."


Sejak Sofi mengutarakan keinginannya menempuh pendidikan ke luar kota, pikiran dan hatiku sudah dipenuhi oleh beragam kekhawatiran. Sejak kecil hingga saat ini ia tak pernah hidup terpisah denganku dalam waktu yang lama. Apalagi di tempat barunya nanti tidak ada satu pun orang yang ia kenal. Ah, bungsuku akan pergi ke tempat yang benar-benar asing dan harus hidup mandiri di sana, apakah ia bisa?


Tibalah hari di mana kami, aku dan suamiku mengantar Sofi ke Malang. Kami tidak memiliki kendaraan yang bisa mengantarkan kami beserta sejumlah duz sekaligus. Kereta api lah akhirnya yang menjadi satu-satunya pilihan. Ternyata rute yang ditempuh cukup mudah, aku jadi sedikit lega.


Kekhawatiran yang membuncah selama berhari-hari perlahan reda, saat aku mengetahui bahwa kontrakan yang ditempati Sofi, dikhususkan untuk muslimah. Apalagi saat Sofi mengajak kami memasuki wilayah kampusnya, aku merasa begitu jumawa. Tidak kusangka, salah satu anakku bisa merasakan bangku kuliah bermodalkan kecerdasannya. Ya, Sofi anakku, mendapatkan kesempatan kuliah ini dengan beasiswa.


Sekembalinya aku dari Malang, rumah terasa sepi. Tak ada lagi anak gadis yang kumintai tolong menyiapkan makanan, atau menyalakan seluruh lampu saat hari mulai petang. Tanganku ini tidak lagi menyuapinya ketika ia malas makan karena tugas sekolah yang begitu banyak. Sekarang, suaraku kukeluarkan dengan cukup hemat. Anak terakhir yang biasa kumarahi karena lupa mematikan keran, sudah tinggal jauh dari rumah ini.


Tadinya, Sofia yang membantuku mengerjakan tugas-tugas rumah dan meringankan  beban keseharianku. Bukan hanya dengan tenaganya, tapi juga senyumnya, suaranya dan kadang keluguannya yang membuatku gemas. Namun, semenjak ia pamit merantau, pagi-pagi sekali aku sudah melakukan seluruh aktivitas rumah seorang diri. Berbelanja, memasak, mebereskan rumah, memandikan ibu, lalu berlanjut dengan membuka toko. 


Pada saat sedang beraktivitas seperti itulah, aku sering teringat akan Sofia. Ah, anak gadisku sudah besar. Bahkan ia sudah berani pergi merantau seorang diri dan tinggal jauh dariku. Semoga dia baik-baik saja.   


Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Sofia sudah memasuki semester yang ke-5. Tidak lama lagi studinya akan selesai. Dia akan segera mengenakan baju serba hitam beserta topi yang sudah lama ia idam-idamkan.


***


“Bu, besok Sofia pulang ya. Skripsi Sofia sudah selesai soalnya. Tinggal nunggu wisudanya saja. Ibu mau dibawakan apa?” tanya Sofia pada suatu moment berbincang lewat telefon.


“Apa ya, Sof? Sudahlah kamu pulang saja ibu sudah senang kok. Nggak perlu bawa oleh-oleh segala,” kataku akhirnya sambil meremas lututku yang semakin nyeri. Aku pun menutup telepon dengan sumringah. Ya, sudah setahun belakangan, acap kali aku merasakan nyeri tak tertahankan pada  lututku .


Sudah kuperiksakan ke rumah sakit, dan dokter memberikan diagnosis asam urat. Aku diminta untuk menghindari beberapa jenis makanan dan mengonsumsi beberapa macam obat. Sayangnya, sudah berbulan-bulan aku menjalani seperti yang dokter sarankan, tak jua kutemui adanya perubahan.


Usai kututup telepon hari itu,  aku bergegas ke pasar. Besok aku akan memasakkan makanan favorit anakku. Tak mengapa lah, nyeri ini masih bisa kutahan untuk sekadar dipakai jalan ke pasar. 


“Kamu mau kemana toh, Las, kok buru-buru gitu?” tanya ibu padaku. 


“Saya mau ke pasar sebentar, bu. Besok Sofia pulang. Ibu mau nitip dibelanjain apa?” 


“Walah, cucuku pulang! Sembarang kamu, Las, Sofia pulang aja ibu sudah seneng” ujar ibu gembira. 


“Assalamu’alaikum.” Suara yang sudah sangat ku nantikan akhirnya terdengar juga. 


“Wa’alaikumsalam” jawabku dengan mertua dan suamiku bebarengan. Sofia muncul di ambang pintu dengan beberapa dus oleh-oleh. 


“Walah, Sof, ini kamu bawa apa aja toh kok banyak sekali” 


“Oleh-oleh, Bu. Ibu, bapak, sama eyang harus cobain makanan khas Malang ini,” aku melihat Sofia begitu bersemangat membuka kardus yang ia bawa pun terbawa suasana ikutan semangat mengintip. 


“Aduh” baru aku akan beranjak dari kursi nyeri di lututku sudah tak tertahankan lagi. Seisi rumah seketika langsung panik mengampiriku. 


“Ibu kenapa? Bapak perhatikan belakangan ibu megangin lutut terus,” tanya suamiku khawatir.


“Sudah, Pak, tak apa, mungkin hanya linu biasa,” jawabku mencoba menahan sakit semampuku. Aku tak ingin, hanya karena nyeri lutut, momen bahagia keluarga ini jadi kacau.


Sayangnya, sakit ini semakin hari semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya, satu minggu kemudian , suami dan anakku membawaku ke rumah sakit untuk melakukan medical check up dan CT scan .


***


Kekhawatiranku kembali muncul. Lututku yang selama ini nyeri ternyata mengalami pembengkakan, Osteoathritis. Ah, istilah apapun itu telah membuatku sedih. Aku tidak ingin menjadi beban keluargaku, terutama Sofia. Ia baru saja berbahagia menjadi sarjana dan sedang interview di perusahaan yang selama ini diidam-idamkannya. 


“Ibu terlau banyak gerak. Mulai sekarang ibu harus banyak istirahat. Ingat kata doker” kata Sofia memijit kakiku dengan lembut. 


“Kamu jadi interview lagi kapan, Sof?” 


“Sofia nggak jadi ngelanjutin interview. Sofi mau jaga ibu aja”


“Lho, kok begitu, Sof? Kamu kan sudah sedikit lagi diterima. Itu perusahaan besar idaman kamu lho” aku sungguh kaget mendengar kata Sofia. 


“Nggak, bu. Sofia sudah mutusin nggak akan ngelanjutin. Sofia nggak mau ibu kenapa-kenapa” 


“Udah, ibu nggak apa-apa kok. Kan ada tetangga kita” anakku yang satu ini memang susah sekali didebat. Ia memiliki pendirian yang kuat seperti bapaknya. Tapi aku tidak mau memupuskan harapannya. Dia sudah menjadi sarjana dan harus meraih cita-citanya. 


Meski aku sudah meminta bantuan bapak dan ibu, Sofia tetap saja bersikukuh dengan keputusannya. Aku coba menghubungi kakak-kakaknya saat sedang mengunjungiku. Tapi, mereka malah membenarkan keputusan Sofia. Hingga perlahan hatiku pun luluh dengan tekat bulatnya untuk tidak melanjutkan mengejar citanya. 


Aku tahu Sofia memang anak yang berbakat dan ulet. Meski di rumah menjagaku dan banyak menggantikan pekerjaan rumah, ia tetap berusaha untuk tetap mandiri dan terus bertumbuh. Kini, dengan ilmu design yang telah ia pelajari, ia merintis usaha percetakan. Meski kecil-kecilan cukup untuk menambah pemasukan kami selain dari toko. 


“Alhamdulillah, ibu bangga sama kamu. Terima kasih ya, Nak” kataku tak kuasa menahan tangis. Aku begitu bangga padanya. Ternyata keadaan yang harus membuatnya tinggal di rumah, bukanlah sebuah keterbatasan, malah ia bisa menggunakannya untuk melangkah lebih jauh.


“Ibu, Sofia seperti ini karena ibu. Kasih sayang ibu lah yang telah melembutkan hati Sofia, sehingga bisa menyayangi Ibu. Ketangguhan Ibu lah yang Sofia teladani, sehingga anakmu ini tidak mudah menyerah, bagaimanapun kondisinya. Terima kasih, Bu.”

Komentar

Postingan Populer