Kesempatan Terakhir

Waktu menunjukkan pukul 09.00 malam. Suhu udara di salah satu bumi sedang mengalami penurunan. Bukan hanya karena sedang tidak disinari cahaya si pusat tata surya, tapi juga karena air langit yang menyerbu dengan derasnya. Meski demikian, di dalam sebuah kamar, seorang perempuan justru sibuk melap telapak tangan dan kaki yang basah oleh keringatnya.

Suhu tubuh perempuan itu sedang naik, lantaran degup jantung yang berpacu lebih cepat dari biasanya, juga perut yang rasanya seperti sedang diaduk-aduk. Pemicunya tidak lain adalah dugaan-dugaan terhadap sesuatu yang belum tentu jadi nyata. Mereka melayang-layang di hati dan pikirannya.

"Aku harus segera mengatakannya. Tidak ada kemungkinan buruk, semua akan berjalan sesuai dengan inginku. Ya, walaupun nanti akan ada sedikit perdebatan, tapi aku pasti bisa mengatasinya."

Perempuan itu bermonlog. Ia ucapkan kalimat-kalimat afirmasi positif agar sisi lain dari dirinya itu berhenti skepstis.

Usai mengambil beberapa napas panjang dan mengucapkan bismillahirrahmanirrahiim, ia melangkah ke luar kamar. Sekuat tenaga ia berusaha mengayunkan sepsang kakinya dengan tenang menuju ruangan lain di rumahnya, tempat Sunarto dan Sumiati berada.

Di ruangan yang dituju oleh si perempuan, Sunarto dan Sumiati yang merupakan kedua orang tuanya, tengah duduk bersebelahan. Mereka memakan keripik singkong sambil mengomentari sebuah acara yang tayang pada layar televisi. Melihat pemandangan itu, si perempuan langsung duduk di sofa kosong sebelah sang ibu.

"Em, Bu, Pak, Lastri mau ngomong sesuatu," ucap si perempuan membuka percakapan.

"Sudah kamu kasih tahu, Bu?" tanya Sunarto pada Sumiati, setelah mendengar kalimat pembuka dari putrinya.

"Belum, Pak."

"Kamu atau aku yang sampaikan?"

"Bapak saja."

Sunarto memencet sebuah tombol dari remote dan keramaian dari televisi, lenyap seketika. Atmosfer beruba, merangsang pergerakan tak keruan dari segumpal jantung dalam tubuh Lastri. Rasanya, organ tersebut ingin melesak, keluar dari singgasananya.

"Katanya tadi, kamu ingin ngomong sesuatu. Sampaikanlah dulu," kata Sunarto pada Lastri.

"Hari ini Lastri daftar ujian seleksi masuk perguruan tinggi, Bu, Pak. Ujiannya dilaksanakan satu setengah bulan lagi. Lastri minta restunya ya, Bu, Pak. Doakan agar ujian Lastri nanti lancar."

"Mengapa kamu mendaftar ujian itu lagi?" tanya Sunarto tanpa melihat ke arah Lastri.

"Karena Lastri masih ingin mengejar mimpi Lastri, Pak. Ujian tahun ini adalah kesempatan terakhir yang bisa Lastri usahakan."

"Kamu gak kapok, sudah pernah gagal tahun lalu?"

"Tidak, Pak. Selagi masih ada kesempatan, Lastri masih akan mencobanya."

Sumiati melirik Sunarto. Sementara, suaminya itu tertunduk. Jemarinya nampak digosok-gosokkan ke area kening.

Beberapa detik kemudian, Sunarto mengkat wajahnya. Ia memgambil napas panjang, lalu mengarahkan pandangan pada Lastri. Maski tidak duduk berdekatan, sorot mata Sunarto tetap terasa tajam menghujam.

"Baiklah, sekarang giliran bapak yang bicara."

Sunarto menjeda kalimatnya dengan helaan panjang napasnya.

"Tadi pagi, Pak Basuki, Bu Minarti, dan anak mereka yang sulung, Sugeng, datang kemari. Mereka melamarmu. Tanggal pernikahan juga sudah kami rundingkan, yakni satu setengah bulan mendatang."

Jantung lastri seperti terlepas. Darahnya terasa memanas. Paru-parunya seolah sulit bernapas.

"Jadi maksudnya, Bapak dan Ibu sudah menerima lamaran seseorang tanpa persetujuanku? Lalu, kalian menentukan pernikahan tanpa mengajakku berunding?" Nada bicara lastri sedikit meninggi.

"Lastri, kamu anak perempuan kami. Segala hal yang menyangkut hidupmu, menjadi tanggung jawab bapak dan ibu. Kamu tinggal menurut saja, Nak, karena apa yang bapak dan ibu putuskan, sudah pasti untuk kebaikanmu." Kali ini, Sumiati yang angkat bicara dengan nada perlahan.

"Iya, aku tahu, orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tapi, apa harus seperti ini? Maaf, Bu, Pak, Lastri tidak bersedia dengan perjodohan ini."

"Gak bisa. Kamu gak bisa seenak itu membatalkan perjodohan ini, Las. Semua sudah diputuskan," jawa Sunarto dengan suaranya yang berat.

"Lalu, bagaimana dengan ujian Lastri, Pak? Waktunya sama dengan tanggal pernikahan yanv kalian rencanakan," tanya Lastri dengan suaranya yang mulai tercekat menahan tangis.

"Ya sudah. Tinggal batalkan saja ujiannya. Lagi pula, belum tentu juga kan kamu berhasil?"

"Padahal, dulu Bapak dan Ibu sudah setuju loh, waktu Lastri bilang akan mengikuti ujian ini sampai kesempatan terakhir. Bapak dan Ibu dulu sudah memperbolehkan Lastri kuliah, asal Lastri bisa mengusahakan biaya sendiri. Mengapa sekarang jadi menjodohkan Lastri sesuka hati?" Kali ini, air mata Lastri lolos dari pertahanannya.

"Itu dulu. Sekarang Bapak dan Ibu sudah berubah pikiran."

Kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Sunarto, disambut oleh isak tangis Lastri.

"Pokoknya, kamu akan tetap menikah dengan Sugeng pada tanggal yang sudah kami tentukan. Keputusan ini sudah bulat."

Sunarto lalu berdiri dan beranjak pergi, tanpa sedikitpun menoleh pada Lastri.

"Bu, tinggalkan Lastri. Biarkan dia merenungi keputusan terbaik orang tuanya," ucap Sunarto saat menyadari bahwa Sumiati masih duduk di tempatnya.

*****

Malam kian larut. Hujan di luar sudah reda, akan tetapi hujan di kamar Lastri yang bersumber dari hati yang lara semakin bertambah intensitasnya.

Pada situasi seperti itu, kepingan-kepingan masa lalu bermunculan di kepalanya. Mereka membentuk satu memori utuh tentang perjalanannya mengusahakan mimpi untuk bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, lalu menitih karir sebagai juru warta.

Bermula dari keinginan Lastri untuk kuliah di perguruan tinggi negeri yang disampaikan pada orang tuanya saat baru lulus dari jenjang pendidikan SMA. Keinginan tersebut ditolak, karena masalah ekonomi. Meski nantinya Lastri bisa mengusahakan beasiswa tapi, bapak dan ibunya tetap harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk biaya sewa tempat tinggal, biaya makan, dan membeli kebutuhan kuliahnya.

Perguruan tinggi negeri yang menjadi tujuan Lastri berada jauh di pusat kota, sementara ia sendiri tinggal di pelosok desa. Jadi, untuk bisa berkuliah, ia harus merantau, tinggal terpisah dari keluarganya.

Penolakan itu Lastri terima. Ia berusaha untuk memaklumi  keadaan orang tuanya. Bekerja menjadi pilihan terbaiknya untuk mengumpulkan biaya pendidikan sambil menanti kesempatan mendaftar kuliah di tahun kedua.

Pada tahun kedua pasca lulus SMA, Lastri mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Sayangnya, meski sudah mencoba di gelombang satu maupun dua, nilai yang diperoleh jauh di bawah batas rata-rata. Sekali lagi, Lastri harus menerima bahwa impiannya tertunda.

Harapan senantiasa ia rawat lewat doa, bekerja, dan belajar, sembari menunggu kesempatan terakhirnya pada tahun ketiga. Akan tetapi, belum sempat ia mencoba kesempatan itu, kejutan besar menghadang langkahnya.

Lastri tak menyangka, orang yang selama ini selalu dimintai restu atas segala rencana yang akan dijalani, dengan tega menghancurkan mimpinya melalui perjodohan sepihak.

Namun, bukan Lastri namanya jika menyerah. Dalam isak yang masih tersisa, ia memikirkan cara agar hari-hari selanjutnya tetap berjalan sesuai kehendaknya

*****

Keesokan harinya, Lastri bangun subuh seperti biasa. Setelah memasak, membereskan rumah, dan membersihkan diri, ia bersiap berangkat kerja sebagai buruh pabrik gula.

"Mau kemana kamu?" tanya Sunarto ketika menjumpai Lastri memasukkan bekal makanannya dengan tampilan diri yang sudah rapi.

"Mau berangkat kerja, Pak."

"Mulai sekarang, gak usah kerja lagi. Dalam waktu dekat kan kamu akan menikah. Pamali kalau sering mondar-mandir di jalan."

Lastri mengambil napas panjang sebelum menanggapi perkataan bapaknya.

"Bukankah kalau berhenti kerja harus dengan cara yang baik, Pak? Mengajukan surat pengunduran diri dulu, kemudian menyelesaikan sisa pekerjaan sesuai prosedur perusahaan."

Tidak seperti tadi malam. Pagi ini Lastri berusaha lebih tenang menghadapi bapaknya. Meski kecamuk hati karena sikap sang bapak yang semena-mena belum reda.

"Ya, cepatlah urus. Jangan sampai bapak ikut turun tangan." 

Setelah percakapan singkat itu, Lastri berpamitan pada bapak dan ibunya. Bukannya langsung menuju tempat kerja, Lastri melajukan kendaraan roda duanya  ke arah rumah milik keluarga yang sebentar lagi menjadi mantan calon mertua.

"Assalamu'alaikum," ucap Lastri di ambang pinti rumah yang terbuka.

Beberapa detik kemudian, keluarlah seorang wanita paruh baya.

"Wa'alaikumsalam. Oh, Nak Lastri. Ayo, mari masuk. Silahkan duduk." Perempuan tersebut iala Bu Minarti. Ia menyambut Lastri dengan sangat ramah.

Setelah Lastri mendudukkan dirinya di sofa, seorang lelaki paruh baya dengan seorang pemuda berseragam rapi berjalan ke ruang tamu menyambutnya. Mereka tidak lain adalah Pak Basuki dan Sugeng. Keduanya lalu ikut duduk di sana.

"Nak Lastri pasti sudah tahu dari bapak dan ibu soal rencana pernikahan dengan Sugeng."

"Iya, Bu. Bapak dan Ibu Lastri sudah cerita."

"Syukurlah. Em, Nak Lastri ke sini mau membicarakan persiapannya, ya? Kita mulai urus dokumen dulu, ya, untuk pendaftaran di KUA."

"Maaf, Bu. Lastri kemari bukan untuk itu, melainkan meminta Pak Basuki, Bu Minarti, juga Mas Sugeng, agar bersedia membatalkan perjodohan ini."

"Perjodohannya dibatalkan? Kenapa, Nak? Kemarin kan Bapak dan Ibumu sudah menyetujuinya."

"Bapak dan Ibu menyetujuinya tanpa sepengetahuan Lastri, Bu. Sejujurnya, Lastri belum siap menikah. Lagi pula, satu setengah bulan lagi Lastri akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi."

Hening tercipta beberapa saat. Empat orang di ruangan itu saling pandang satu sama lainnya.

"Ehem.... " Pak Basuki mulai buka suara.
"Kau tahu, Nak, ini bukan masalah sepele. Perjodohan secara sepihak ini tidak bisa dibatalkan begitu saja. Sebagai pihak yang membatalkan, kau harus membayar denda pada kami dan kita anggap urusan ini selesai."

"Berapa dendanya, Pak?"

"30 juta dan harus kau bayar lunas besok."

"Baiklah, Pak. Pasti akan Lastri usahakan, agar besok bisa membawa uang denda sebananyak 30 juta," jawab Lastri mantap.

"Kau yakin, Nak?" tanya Bu Minarti dengan nada cemas.

"Mengapa tidak, Bu? Ini demi keberlanjutan masa depan Lastri. Lagi pula, apa ibu mau memiliki menantu seperti saya yang belum siap lahir batin untuk membina rumah tangga?"

Bu Minarti hanya bisa menghela napas panjang mendengar perkataan Lastri.

"Kalau begitu, Lastri pamit, ya, Bu Minarti, Pak Basuki, Mas Sugeng. Assalamu'alaikum."

Usai berpamitan, Lastri bergegas ke luar rumah, lalu mengendarai motornya menuju tempat kerja.

"Semoga, ia gagal mendapatkan uang itu. Karena, kalau sampai perjodohan ini gagal, yang menanggung malu bukan hanya keluarganya, tapi juga kita. Bapak tidak bisa membayangkan jika keluarga ini menjadi bahan gunjingan," tutur Pak Basuki setelah kepergian Lastri.

*****

Lastri termenung di ruang tunggu bank. Tangannya meremas tas yang didalamnya terdapat sejumlah uang. Ia baru saja menarik seluruh tabungannya senilai 20 juta, dan menggadaikan BPKB motornya.

Uang tabungan itu terkumpul dari upah kerja selama dua tahun. Nantinya, akan ia gunakan untuk biaya kuliah. Meski sekarang Lastri jadi bingung memikirkan cara mendapatkan penggantinya tapi, setidaknya ia bisa menyingkirkan lebih dulu satu hambatan yang mungkin akan menggagalkan mimpinya.

Jadwal kerja Lastri hari ini shift dua, yakni pukul 02.00 siang. Sehingga paginya ia bisa mengerjakan urusan denda pada keluarga Sugeng dengan leluasa.

Sesampainya di rumah Sugeng, Lastri dibuat heran dengan adanya ambulan dan sejumlah orang yang berkerumun. Keheranan itu terjawab tatkala sebuah tandu yang di atasnya terbaring tubuh Pak Sunarto didorong keluar oleh tenaga kesehatan dari dalam rumah Sugeng.

"Bapak!" seru Lastri dengan mata terbelalak.

Lastri kemudian berlari ke arah ibunya yang mengekori pergerakan tandu.

"Bapak kenapa, Bu?

"Nanti saja ceritanya di puskesmas."

Bu Sumiati ikut masuk ke dalam ambulan. Sementara Lastri mengikutinya dengan mengendarai motor. Pak Basuki dan Bu Minarti juga turut menyusul di belakang Lastri.

Usai mengurus berbagai administrasi dan Pak Sunarto telah dipindahkan ke ruang ICU, Lastri dan Bu Sumiati menuju taman rumah sakit. Di sana telah berkumpul keluarga Sugeng dan ketiga kakak Lastri.

"Bagaimana kondisi Pak Sunarto, Bu?" tanya Bu Minarti.

"Kata dokter, sesak napasnya tadi karena serangan jantung, Bu. Saat ini kondisinya masih belum stabil."

Semua terdiam mendengar penjelasan Bu Sumiati. Mereka tahu bahwa apa yang terjadi pada Pak Sunarto, tidak lain karena terkejut mengetahui tindakan Lastri dari keluarga Sugeng.

"Bu Minarti, Pak Basuki, Nak Sugeng, maafkan kami. Hiraukan saja semua yang Lastri katakan kemarin. Saya harap, rencana pernikahan ini bisa tetap diteruskan. Impian suami saya adalah menikahkan semua anak-anaknya dan tinggal Lastri yang belum."

Kali ini Lastri hanya tertunduk. Bayangan tentang kondisi bapaknya, membuat Lastri tak berdaya untuk melakukan perlawanan.

"Tapi, Bu, sejujurnya saya juga kasihan pada Lastri. Bagi orang yang sudah berumur, mungkin keinginan Lastri bisa diabaikan tapi, bagi Lastri sendiri yang baru saja memasuki usia 20, impiannya begitu penting untuk diperjuangkan. Itu adalah bagian dari proses pencarian jati dirinya."

Sugeng yang sejak awal tak banyak bicara, hari itu mengemukakan isi pikirannya.

"Saya setuju dengan Sugeng. Meskipun saya juga khawatir dengan kondisi bapak tapi, saya juga mencemaskan keadaan mental Lastri kedepannya."

Arifin, kakak pertama Lastri menuturkan pendapat yang sama.

"Lastri, bagaimana menurutmu?" tanya Arifin.

"Lastri masih berat melepaskan mimpi Lastri begitu saja tapi, Lastri tak mau jadi egois dan mengorbankan orang lain, Mas."

"Bu Sumiati, jika Lastri bersedia saya nikahi, saya berjanji akan mengizinkannya kuliah, mendapat gelar sarjana, dan membantunya menitih karir yang dia impikan. Untuk membuktikan kesungguhan ini, kita bisa membuat perjanjian hitam di atas putih bermaterai. Agar kelak, ketika nanti saya ingkar pada janji ini, Lastri berhak mengajukan tuntutan."

Bu Sumiati hanya menghela napas berat.

"Bagaimana, Las?" tanya Arifin.

"Asalkan pernikahannya dilangsungkan setelah Lastri melaksanakan ujian, Lastri mau."

Komentar

  1. Alhamdulillah, akhirnya Lastri tetep bisa kuliah. Kok kesel ya sama orang tua yang bikin keputusan sepihak gitu, harusnya mah dibicarakan dulu sama anaknya. Keren ih, kak Uswa, emosinya bisa nyampe ke pembaca👍🏻

    BalasHapus
  2. Kalau di real life, semoga suami Lastri itu baik dan menepati janji. Dan orang tua modelan orang tuanya Lastri segera maju pikirannya. Menikah bukan perkara mudah, dan mereka harusnya sudah paham.

    BalasHapus
  3. Kesal banget sama orang tua Lastri, maksain kehendak sendiri. Padahal anak punya keinginan sendiri juga, kenapa nggak didiskusikan dulu sih. Alhamdulillah sudah ada kalan keluar untuk Lasyri. Semoga valon suaminya memang pengertian dan perhatian.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer