Mabuk


"Bungur! Bungur! Bungur! Bungurasih!"

"Yok! Masuk!"

"Belakang geser, ya!"

Suara kondektur bus itu membuatku semakin gelisah. Bagaimana tidak? Setiap kata yang keluar dari mulutnya automatis akan membuat tempat ini semakin sesak dan pengap. Keadaan ini menjadikan perutku serasa diaduk-aduk.

"Bu, perutku gak enak rasanya!" rintihku yang sedang duduk di pangkuan ibu seraya meremas perut.

"Tunggu. Ibu cari minyak kayu putih dulu."

Ibu membuka satu persaku resleting di tas pundaknya. Akan tetapi, nampaknya ia tidak menemukan yang dicari.

Tangannya lalu meraba-raba tas dengan ukuran lebih besar yang terletak di bawah tempat duduk sambil masih memangku tubuhku. Ah, sepertinya dia kesulitan.

"Pak, bisa tolong carikan minyak kayu putih di tas ini?" pintanya pada bapak yang sejak tadi mengobrol dengan penumpang lain.

"Buat siapa? Lastri?" tanya bapak yang sudah dapat menebak apa yang terjadi.

"Iya, Pak."

Kini, bus melaju cukup kencang. Lalu, beberapa kali berhenti mendadak untuk memasukkan penumpang.

Posisi dudukku sekarang memeluk dada ibu. Sementara bapak mengoles minyak kayu putih sambil memijit punggungku. Sayangnya, semua itu percuma. Sakit di perutku tak jua reda.

"Keringatnya banyak, mukanya pucat. Ayoklah, turun aja," ucap bapak usai mengetahui kondisiku yang makin parah.

Bapak menggendongku, sementara ibu mengikuti dengan menenteng beberapa tas di tangan dan pundaknya. Susah payah kami berjalan menuju pintu keluar, sebab padatnya penumpang yang berdiri.

Tak jauh dari kami, terdengar kondektur bus berteriak, "Hei, Pak, yang gendong anak, mau ke mana?

"Mau turun."

"Gak bisa, Pak. Bus nya penuh, susah lewatnya. Langsung turun di Bungurasih aja."

"Anakku sakit ini." Terdengar dari nada suaranya, bapak mulai tersulut emosi.

"Sakit perut, Pak? Mau muntah? Kan bisa di dalam aja."

"Terserah kalau gak mau. Tapi, kau bisa kutuntut kalau terjadi apa-apa pada anakku. Apalagi dengan jumlah penumpang bus mu yang kelebihan muatan seperti ini,"  kata bapak penuh penekanan.

"Jek, bantu buka jalan!" perintah sopir bus pada si kondektur.

Setelahnya, kondektur bus mengarahkan orang-orang yang sedang berdiri berdesakan untuk minggir, memberi jalan pada kami agar bisa melangkah.

Sesampainya di samping pintu bus, si sopir berkata, "Kalau mau naik kendaraan yang nyaman cari tipe executive, Pak, atau sekalian bawa mobil pribadi. Ekonomi sulit tapi, gayanya selangit."

Bapak yang sedari tadi kuperhatikan sedang menggenggam selembar uang, dengan mantap menempelkan uang itu ke dahi kondektur yang berada tepat di depannya seraya berkata, "Pakai ini untuk menyumpal mulut sopirmu."

Beberapa detik kemudian, bus menepi, dan kami pun turun. Aku beringsut dari gendongan ayah, berjongkok, lalu mengeluarkan isi perut yang sejak tadi tertahan. Dengan sigap, ibu mengelap sisa muntahan di bibirku, membaluri perut, punggung, dan dadaku dengan minyak kayu putih. Hidungku juga dibaui oleh minyak beraroma segar itu.

Tubuhku kembali diangkat ke gendongan bapak. Kami bertiga menuju ke sebuah warung. Di sana, kami menunggu bus berikutnya lewat.

*****

Saat itu, aku yang masih berusia sembilan tahun sedang dalam perjalanan pulang bersama orang tuaku, dari Pasuruan menuju Lamongan. Padahal, setiap kali bepergian jauh, aku sering menyusahkan bapak dan ibu dengan hal-hal di luar kendali. Akan tetapi, aku selau saja dibawa serta. Tak pernah mereka pergi berdua dan menitipkanku pada nenek, om, atau tante.

Sekarang, aku telah tumbuh menjadi Lastri dewasa yang suka melakukan perjalanan jauh menggunakan transportasi umum. Musuh bernama mabuk darat, laut, dan udara telah aku taklukkan. Tentunya karena telah berhasil mewarisi keberanian dan ketangguhan bapakku.

Komentar

  1. sopirnya ugal-ugalan dan ceriwis banget yak, Lastri keren sih pas gede udah ngga mabukan lagi..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer